.

.

Tuesday, May 24, 2016

 Jakarta, May 25th 2016
Attention To: Human Capital Division
PT. XXX
Jl. YYY


Dear Sir/Madam,
I am interested and motivated in applying application for any position according to my educational background. It is an honour for me to be part of PT. XXX’s staff.

My name is Widiani Larasati, 23 years old and single, completed my S1 degree from Universitas Trilogi on April 2016, majored in Management studies. My specialization is in Financial Planning. I have good motivation for progress and growing, eager to learn, and can work with a team (team work) or by myself. Beside that, I posses adequate computer skill and have a good command of both spoken and written English. My experience as a telemarketer executive at university once a year for 5 years has enriched my knowledge in marketing and improved my communication skill. I’ve been interning at LAZ Al-Hakim PT. Sucofindo Persero as an accounting administrator since April 2016. With my qualifications, I’m confident that I will be able to contribute effectively to your company.

For your further consideration, I enclose my:
1.      Copy of Bachelor Degree (S-1) Certificate and Academic Transcript.
2.      Curriculum Vitae.
3.      Copy of Job Certificate from Universitas Trilogi.
4.      Copy of KTP.
5.      Recent photograph with size of 4x6 cm.

I would gladly welcome an opportunity to have an interview with you at your convenience. I’m looking forward to hearing from you in the near future. Thank you for your attention and consideration.


Yours Sincerely,

                                                             
                                                                                                                                              Widiani Larasati, S.E.

Monday, January 25, 2016




So into You


By: Widiani Larasati


    
            I remember my head felt so heavy that day, that it was hard to get it up. I kept walking while staring at holes and pebbles on the street no matter what. Only me who knew how much I wished I would not find him at where I was going to go. I wished he canceled coming, that he suddenly got stomachache or diarrhea, or his dog was suddenly… Whom was I fooling? Of course, Pieter had been there since a few minutes ago, leaning on the side of the bridge as usual. He always came early. His mind was certainly wandering to the things I didn’t want to imagine at all.
            He had been honest with me once about his fantasy at the bridge, the things that made me feel more uncomfortable than if there were two lovers making love with unstoppable lust in front of my eyes. Yes, I admitted that I ever wanted to be involved in the realization of his fantasy, but at that time, I could barely think anything but turning back. He had been waiting for a meet and chat, and thought it could proceed with hanging out like we had done for one or two times before, but all I was going to do was telling him what others wanted me to tell him? Oh, I thought I would not be able to face any of his reactions. I even wanted the ground to swallow me, right when he noticed me coming even when the distance between us was still far. Pieter hastily changed his position. He stood up. Not as usual, his warm smile got me suffered at that time.

            "Good afternoon Suhartini," he greeted as usual. At another time, my heart would get flowered when I heard him saying it. My name would sound different in my ears, it would be much more meaningful when it slid from his thin lips. My world, which was all about boring life.. My seasons, which were only dry and rainy, changed instantly. Good afternoon from him could make the afternoon brighter and feel more cheerful as if I spent a lovely afternoon in the spring when the flowers were blooming and the butterflies were happily flying around them. But that day, it was like all the beautiful flowers had been struck by cruel lightning, and heavy rain flushed the remnants. The good afternoon turned out to be a disaster.
However, I replied his greeting with a tasteless one. As usual, Pieter tried to get me to talk about my family, school, about myself.. Most of my answers were just yes and no, but he didn’t seem to care and went on talking, made me barely able to be there any longer. My heart screamed at the top of its lung (if only it had lung) to tell him that something had happened and he should not have acted that casual. His attitude just made it more difficult to me to imagine how to tell him everything. However, it could not go on that way.
            “And you know, sometimes I wonder how –”
            “Pieter!”
           Pieter seemed a little surprised. I understood, that was the first time I voiced his name so firmly. I didn’t even remember when I ever mentioned his name. He was the one who always called me and tried to find me wherever I was.
            Pieter invited me to express what I meant to say first. Where did I begin? I didn’t know. I felt like to back off, to escape and return to home.
            "What's wrong with you, Suhartini?"
            But the shadows of people in the house began to haunt me. Eang¹ who was angry, shouted from his rocking chair cursing the Dutch people and their descendants; Bapak² and Ibu³ who smoothly forced me to deny the rumors from some neighbors about the forbidden relationship between me and a (half) Dutch guy by receiving Bagus’s propose, just like it was the only way; My sister, who advised me to take a safe course by following my parents’ advice; Pon, my best friend, who sadly told me I should subordinate my heart..
I took a deep breathe.

Tuesday, May 27, 2014

Ruthie (part 1)


“Ruth!”
Langkahku terhenti. Tak terlintas sedikitpun di kepalaku tentang siapa yang meneriaki namaku di tengah jalan yang telah lengang dan sesepi kuburan. Angkringan di dekat kampus sudah tutup. Tak terlihat lagi para tukang ojek yang biasanya mangkal beberapa meter dari situ. Hanya 1-2 motor dan mobil yang lewat sejak kakiku melangkah keluar gerbang kampus hingga tinggal setengah jalan lagi untuk sampai di jalan raya besar. Aku yakin aku tak mengharapkan siapapun hadir di tengah kegelapan dan kesunyian itu, tepat ketika aku menoleh dan melihat seorang cowok bermotor yang sudah sangat kukenal.
Ngapain sih di sini, dan ngapain teriak-teriak, omelku dalam hati. Di malam pertengahan Desember yang dingin, hatiku mengobarkan rasa benci. Saat itu aku belum memahaminya, bahwa dia tak ingin mengejutkan atau terkesan mencegatku. Itulah mengapa kemudian dia dan motornya bak meluncur ringan di atas lapisan es, ke arahku yang memanas dan terpaku.
“Biar gue anter,” tawarnya datar.
“Nggak usah.” tolakku, sedingin dan sekokoh gunung es.
Tanpa ba-bi-bu aku langsung meninggalkannya. Kudengar motornya mendekat, dan aku berusaha yakin bahwa ia akan melewatiku. Tetapi sepertinya aku memang harus kecewa.
“Udah malem banget Ruth, nggak aman buat lo jalan sendirian.”
“Gue ‘kan emang biasa pulang malam sendiri.”
“Ya, tapi nggak pernah selarut ini ‘kan?”
Sama sekali tak ada nada menantang dalam ucapannya melainkan ketulusan, dan karena itu aku mulai marah.
Kupercepat langkahku, tanpa menghiraukan kubangan-kubangan kecil bekas hujan sesorean. Aku tak pernah suka melangkah di atas trotoar yang tak terpelihara, terlebih dalam kasus ini. Mendingan sepatu basah, ketimbang kejeblos lubang, pikirku.
Dia menyusulku lagi.
“Ruth, kalo lo kenapa-napa – “
“Bukan urusan lo!” potongku ketus.
“Ya jelas urusan gue!”
Aku mendelik. Entah apakah lidahnya terpeleset atau apa, dia langsung terdiam dan menghindari pandanganku.
Dia dan motornya terus mengiringiku yang tak lagi menghiraukannya. Aku berusaha melupakan pertanyaan-pertanyaan itu, mengapa dia di sini, mengapa ia tak menyerah saja, membiarkanku pergi seperti dulu. Seperti ketika dibiarkannya hubungan kami kandas begitu saja.
Tanpa kata-kata, apalagi pertengkaran.
Saat itu aku berdiri di ambang pintu halaman belakang rumah Meilin. Dia yang pertama melihatku langsung membeku. Meilin begitu heran hingga ia kemudian mengikuti arah pandangannya dan terkejut setengah mati. Sahabatku itu langsung menghambur ke arahku, memohon-mohon padaku agar mau memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Tapi aku diam, terpaku, menyorotinya yang tak bergeming sedikitpun. Kupandang terus kekasihku, sia-sia berusaha menembus matanya, bertanya. Beginikah caranya?
Kami hampir tiba di jalan raya besar.
“Ruth,”                                      
Aku diam.
“Ruth!”
Dengan naifnya aku berharap langsung akan ada mikrolet berhenti di sana, sehingga aku bisa segera cabut dari situasi ini. Tetapi sesampainya di sana, aku harus berhenti di tepinya dan menunggu. Kecewa lagi. Kecewa terus.
“Heh, bisa nggak sih lo nurunin gengsi lo sedikit aja? Sekali aja?” katanya setelah menghentikan motornya di depanku dan melepas helm-nya cepat.
“Apa?”
“Gue udah ngacir kosan Dito untuk pinjem helm buat lo, buru-buru kemari nyusul lo...”
“Emang gue minta?”
Dia melengos, tersenyum sinis. “Emangnya lo cukup rendah hati untuk minta bantuan orang lain?
Setipis dan setajam pedang.
Aku bisa bilang, itu karena aku tak butuh bantuannya, atau aku bisa bilang, aku bisa melakukannya sendiri.
“Itu lo tau.” balasku dingin, sengaja bersikap menjengkelkan. Kualihkan pandanganku ke arah seharusnya mikrolet itu datang.
Dia seperti kehilangan kata-kata, tapi tak beranjak juga. Beberapa detik berlalu, kuambil tindakan cepat.
“Ruth! Lo mau kemana?”
Kususuri trotoar jalan besar yang makin lama makin gelap. Dia mengejarku.
Meskipun aku tak berpikir akan siap bersua apalagi bicara padanya, aku tak pernah menghindarinya sejak kami putus. Aku pun tak pernah menghindari Meilin. Aku justru heran sebab sahabatku itu tak pernah mencoba bicara padaku di kampus, padahal setelah dulu aku memergoki mereka, dia mengejarku sampai ke jalan. Tapi lama-kelamaan aku sadar, memang lebih mudah seperti itu. Di sisi lain, aku memang jarang merasa kesepian.
Meskipun begitu, aku bersyukur tak harus bertemu mantanku seharian tadi. Aku tak mau tau bagaimana ia bisa tau aku masih berkeliaran di kampus jam 11 malam, tak mau memikirkan kemungkinan dia yang juga baru selesai mengerjakan tugas kewirausahaan sialan yang deadline-nya besok pagi. Aku tak mau memikirkan kemungkinan lain, bahwa ia sibuk berlatih bersama klub teaternya hingga larut, mengingat dua minggu lagi kompetisi pementasan teater tingkat Jabodetabek itu akan digelar – tak bisa kupastikan, sebab sepanjang sore dan malam tadi yang kulewati hanya area sekitar perpustakaan dan kantin. Karena jika aku memikirkannya, pikiranku akan sampai ke masa-masa hubungan kami mulai garing. Ingin rasanya kutempeleng kepalaku sendiri.
 “Kamu ‘kan bisa kabarin aku kalo nggak jadi jemput, Dan.”
Sepele.
“Hp aku mati.”
Basi.
“Aku terus terang kecewa karena kamu ingkar janji, tapi aku, yah, memang bisa pulang sendiri. Tapi ini ‘kan bukan lagi tentang aku doang, atau kamu doang. Kita kan udah... satu. Di sini aku kepikiran, apa kamu kenapa-napa. Apa motor kamu bannya pecah di jalan, apa kecelakaan, apa kamu ada masalah darurat lain...”
Kesimpulannya, dia berubah menjadi semakin tidak peka. Aku berusaha mengatur peranku, mengurangi kepedulian, kalau-kalau itu telah membuatnya sedikit terkekang. Tapi itu semakin menjauhkan kami. Kesepakatan awal pun terlupakan begitu saja, bahwa kami akan mengalah bergantian, saling membaca sikon, memahami emosi satu sama lain. Pertengkaran-pertengkaran pecah, sialnya menyangkut hal-hal sesepele dan semenjengkelkan sampah plastik kresek hitam.
Kusesali kini, kami dengan sengaja telah menghindari inti masalah hubungan kami.
“Lo mau ke mana?” teriaknya ketika telah menyusulku lagi.
“Ke stasiun lah!”
“Mana ada kereta jam segini?”
Dia mungkin benar, tapi aku tak peduli.
Kurasa dia mulai sadar usahanya akan sia-sia, sebab ia dengan nekatnya turun dari motornya dan berlari mengejarku. Tanganku terasa seperti tersetrum ketika ia menyentuh dan menariknya pelan.
“Lepasin, Jordan!”
Sudah berabad-abad berlalu sejak aku tak pernah menyebut namanya lagi dan karenanya, aku sedikit ngeri.
 “Ruth, lo naik ke motor gue sekarang, gue bakal anterin lo sampe ke rumah.“
“Gue nggak –“
“Nggak, dengerin dulu!” Jordan agak mendesak, “Lo duduk aja yang tenang. Gue janji, lo nggak akan harus ngomong apa-apa kalo lo nggak mau.”
Dia mengatakannya dengan caranya – cara yang ternyata sangat kurindukan. Penuh emosi, tapi tidak kasar. Begitu tulus, meski tak lembut. Berusaha meyakinkan, tapi tidak memaksa.
Aku berbalik untuk meninggalkannya.
“Ruth,” Jordan mengikutiku. “Kenapa sih kita nggak bisa biasa aja?”
            Aku berhenti, sontak berbalik lagi.
            “Biasa aja?”
            “Yah, gue tau kita udah...”
Aku merasa mendengar angin bertiup di antara kami, seolah mengisi kelanjutan dari kata-katanya. Aku menatapnya lekat-lekat, menunggu, sedikit berharap, dan harus kecewa lagi.
“Tapi maksud gue, kenapa kita nggak bisa selayaknya  dua orang yang saling kenal di kampus? Rumah kita searah, gue sekalian lewat. Nggak ada salahnya ‘kan teman sekampus nganterin lo pulang di hampir tengah malem gini?”
“Dua orang teman sekampus?” aku mendengus, tak abis pikir.
Aku bisa bertanya, apakah mungkin isi kepalanya tertinggal di rumah kos Dito. Tapi lagi-lagi aku merasa mendengar sesuatu, kali ini sebuah bisikan yang berkata : lepaskan.
“Lo nyuruh gue bersikap bersahabat setelah semuanya?” serangku seraya membelalak.
Hal paling mustahil di dunia ini adalah menarik kembali kata-kata yang telah terucap. Jordan menahan napas.
“Lo sinting ya?” aku mengamuk,  “Lo tuh SELINGKUH Dan! Bisa-bisanya lo ngekhianatin gue, lo main belakang sama sahabat gue sendiri dan sekarang lo berpikir semuanya bakal baik-baik aja!”
CRATT!!
Aku terperangah shock, mendecit seperti tikus terlindas mobil. Jordan pun sedetik terpejam. Kupandangi blouse biruku yang lengket dan basah oleh air kotor.
“WOY!” Jordan berbalik untuk mengumpat ke arah perginya sepeda motor yang tanpa perhitungan mengebut begitu saja melintasi kubangan besar di dekat trotoar ini. Pada momen lain, aku mungkin agak malu dan takut setengah mati jika terlibat dengan seorang mahasiswa yang berteriak tanpa kendali menyerukan satwa-satwa Ragunan hampir tengah malam seperti ini.
Sekilas kuperhatikan sebagian wajahnya juga tak luput dari cipratan air.
Aku tak tahu harus marah pada pengendara motor sialan yang telah berlalu atau pada cowok tinggi di hadapanku, yang kalau bukan karenanya aku tak akan harus berdiri di pinggir jalan dan mengalami kesialan ini.
Jordan berbalik. “Lo punya tisu?”
Aku menggeleng-geleng menatapnya, tapi bukan karena aku tak memilikinya. Tanpa menghiraukan kondisiku sama sekali, aku nyelonong melewatinya.
“Ruth...” suaranya memohon.
“Gue sayang sama lo Ruth,”
Itu kata-katanya beratus malam yang lalu. Di tengah festival angkatan kami, dia menarikku ke lantai tiga. Berdiri mematung di tengah cahaya yang temaram, aku tak pernah tahu aku begitu menunggu ungkapan itu. Yang kutahu, aku merasakan ada sesuatu yang begitu kuat antara Jordan dan aku. Bagiku kami adalah 2 orang yang hanya menunggu momen kebersamaan sebagai semacam penegasan. Penegasan bagi diri masing-masing bahwa kami memang seharusnya terus bersama, tanpa pernah kupikir bagaimana bentuk kebersamaan itu.
Hanya dialah seseorang yang pendapatnya tentang diriku dan segala hal lainnya bisa begitu kupercaya, terasa sebenar dan senyata matahari yang terbit dari timur ke barat. Suaranya seperti suara dari dalam diriku sendiri, diriku yang jernih dan rasional, yang tak ternodai emosi.
Kami sama.
Terlalu sama untuk menjadi pasangan kekasih yang – katanya – mestinya saling melengkapi.
Kami bagaikan 2 kutub magnet yang tak akan pernah bisa disatukan. Semakin didekatkan, semakin terasa bahwa keduanya berlawanan. Mental. Kami bisa jadi sama-sama selatan, atau sama-sama utara.
Aku sadar itu. Entah bagaimana dengan dia. Mungkin pria menganggap hal-hal seperti itu tidak penting. Mereka hanya tau mereka merasa nyaman dengan kami, dan ingin kebersamaan itu abadi. Mereka yakin cinta buta itu wajar, bahwa hal-hal romantis tak memiliki teori.
Cinta itu buta. Benarkah apa yang dulu kami rasakan itu benar-benar cinta?
Kuseka wajahku yang basah dangan asal.
Di dekat stasiun kereta, aku melihat si kotak biru muda itu mangkal. Tanpa ragu sedikitpun aku melangkah masuk ke dalamnya. Yang kupikirkan hanyalah rumah. Yang sedang kuusahakan untuk memenuhi kepalaku hanyalah rumah minimalis, yang terletak di kompleks yang sama dengan Jordan.
Tak lama kemudian mikrolet pun jalan, menyuguhkan sebuah pemandangan yang makin lama makin kecil melalui kaca belakangnya: Jordan yang berdiri pasrah memandangku yang kian menjauh.
Buru-buru kupalingkan wajahku ke arah depan.
Kami tak pernah putus.

(bersambung...)

Monday, May 12, 2014

Cerpen : Aku Lari Demi Sekeping Cinta



Aku labil seperti remaja puber – meloncat-loncat pikiranku setiap sekian detik sekali antara aku menerimanya, kemudian aku protes. Aku memakluminya, lalu aku marah dan ingin menghakiminya.
Aku dan Bima kehilangan kesempatan itu.
Aku dan Bima mestinya bercakap-cakap lebih banyak, tentang siapa diri kami. Tentang mimpi-mimpi. Tentang musik favorit, mungkin. Makanan apa yang paling sering kami inginkan saat jam makan siang kampus. Aku sama sekali tak tahu tentang itu. Bima pun pasti tak punya bayangan bahwa aku hampir selalu pesan kwetiau bukannya nasi.
Aku suka tosca, sewarna blouse yang kukenakan saat ini.
Aku tak pernah berhenti mengagumi Dosen Prosa kami, Pak Arjun, segila dan sekacau apapun dia di mata teman-teman mahasiswa lain. Bagiku ia hanya eksentrik.
Aku fanatik semua film Kate Winslet.
Minuman apa yang paling sering memabukkannya, mungkin. Apakah hanya bir, atau juga vodka? Aku bahkan awam tentang minuman. Aku hanya tau ia suka minum minuman keras saat hatinya galau, di salah satu sudut terpencil rumahnya yang luas. Ia akan harus menjauhkan dirinya terlebih dahulu dari smarthphone-nya, demi menghindari melakukan hal-hal aneh seperti mempermalukan diri di media sosial, mungkin. Atau seperti beberapa minggu yang lalu, mengirimkan kalimat singkat bernada misterius, putus asa, namun frontal yang ditujukan pada dunia ke seluruh kontak yang ia punya. Tak ada yang pernah tau setelahnya tentang sebab pesan itu bisa sampai di ponsel mereka. Kecuali aku. Bagai tragedi bom tanah air, ‘Si Bima jangan-jangan mau bunuh diri’ menguap begitu saja. Aku mulai linglung tentang definisi “teman” baginya.
Tapi selamanya kekonyolan itu akan terekam dalam memoriku.
Aku mulai menerimanya.
Meskipun kami kehilangan kesempatan untuk saling mengenal, demi menjadikan desiran-desiran tak terabaikan ini lebih masuk akal bukannya selamanya menjadi misteri yang menghantui. Kami akan selamanya polos, sama-sama tak tahu hal-hal yang normalnya diketahui sepasang sahabat. Bima mungkin akan lupa namaku, meskipun suatu hari nanti ia akan teringat rasa itu. Perasaannya ketika aku ada di dekatnya. Sesekali, kuharap. Ia tak akan ingat jelas wajahku, mungkin hanya sosokku yang semampai dengan rambut sewarna tanah basah. Meskipun matanya yang berkilau bak berlian akan membekas dan menghiasi imajinasiku yang terus meluas tak terbatas.
Ini sangat tidak adil. Aku marah lagi.
Tapi Bima memang harus pergi, jadi aku rasanya bisa menerimanya.
Tapi aku...
Selama apa kau bisa menahan sesuatu yang memaksamu memalingkan mata ke bangku-bangku tunggu hijau di stasiun kereta api yang mustahil memberi jawaban? Aku tak tahan lagi memendam satu pertanyaan besar yang merangkum kegelisahaanku akan itu, sebenci bila aku harus melontarkannya. Tapi dalam pergulatan manapun, harus ada yang kalah.
“Bim...”panggilanku mengambang. Aku mendongak untuk menghadapi scene berikutnya yang berusaha tak kubayangkan.
Bima menatapku, menunggu maksudku.
“Kenapa sih lo nggak bisa ngasih kita kesempatan...”
Detik ini semua hal di sekeliling kami terasa membeku. Tak ada hal lain yang hidup, apalagi sekacau dan segelisah kami. Mata terangnya menyiratkan ketertegunan yang tak mampu kucairkan. Aku malah menghujamnya dengan tatapan menunggu.
Bima baru benar-benar terbangun dan terpikir untuk menjawab ketika bunyi tanda kereta hendak berangkat yang biasanya memekakkan telingaku membuatnya teralih. Semua hal di sekeliling kami mendadak hidup lagi, bergerak, membuat kami menjadi hanya 2 orang teman sekampus yang sedang menggelar perpisahaan kecil di tengah stasiun kereta yang tak ramai tak sepi.
“S-Sas, gue-“                           
Bima tak menyelesaikan kata-katanya. Aku tak menangkap bahwa ia memanfaatkan kesempatan ini untuk menghindari pertanyaan yang bukan pertanyaan itu. Ada satu hal lain yang luar biasa mahal, terlebih bagi kami saat ini.
Waktu.           
Aku mengangguk. Bisa kulihat harapanku yang tertiup angin, sia-sia bak dedaunan kering yang melayang-layang tak tentu arah, makin jauh, dan hilang dari pandangan. Sampah. Tadinya kupikir hatiku kadung membeku untuk kecewa dan menangis, namun pelan tapi pasti kurasakan ia mulai basah.
Bima menarik pegangan kopernya, lalu menegakkannya. Dibetulkannya posisi topi hitamnya yang sebetulnya tanpa cela.
“I won’t ever forget you, Saskia.” ucapnya. Pelan dan mantap.
Aku yakin ia tengah menutupi kesedihannya. Dari tatapannya aku mengira detik ini Bima sedang melihat semua hal yang akan ditinggalkannya pada sosokku. Teman-teman di kampus yang segudang yang mengerubunginya – karena dialah pusat energi positif mereka dan kuyakin mereka semua tidak akan mempercayai penglihatan sendiri jika melihat dia hari ini. Mata kuliah yang membosankan, organisasi mahasiswa, masa-masa menjadi anak gaul Jakarta yang sangat tak penting tapi berkesan. Rumah. Keluarga inti. Dan mungkin, seorang calon sahabat sejati. Adakah ia merasa kehilangan seorang Saskia juga, diriku itu sendiri?
“Kualat aja kalo sampe lupa,” kataku bergurau, reflek kusunggingkan senyum kecil.
Bima sekilas tertawa, tapi sedetik kemudian matanya berkaca-kaca.
“Dag...” agak kikuk ia menjabat tanganku.
Begitu kuat hasratku untuk lebih dari sekedar menyambut tangannya. Aku ingin memeluknya, tapi merasa belum pantas. Perasaan kami dekat, tapi terbatas intensitas. Aku sangat ingin mengatakan lebih banyak, segala kata-kata penyemangat dan semua perasaanku. Namun aku bahkan tak merasa mengenal hatiku lagi...
“Dag... Have a nice life, Bim.”
Bima berbalik dan berjalan menjauh. Aku memandangi punggungnya, pada lambang Arsenal yang tercetak pada jaket itu hingga gambar itu perlahan mengecil.
Aku ingin tetap di tempatku, menyaksikan hingga gambar itu benar-benar menghilang dari pandanganku, saat-saat di mana Bima masuk ke keretanya sebelum – mungkin – berbalik sekali untuk melambai. 
Tapi aku tak punya nyali.
Aku tak cukup kuat menghadapi kehampaan yang pasti menggerogotiku dengan ganas setelahnya, yang memarah, seiring dengan kereta itu yang perlahan bergerak menjauhi peron stasiun ini dan menghilang sama sekali.
Aku tak cukup berani menyaksikan dengan gamblang momen kehilangan pertama dalam hidupku, seberani menghadapi bayangan Bima yang benar-benar berbalik dan menonton kepergianku dengan perih.
Maka beberapa saat sebelum Bima sampai di pintu masuk gerbong terdekat, aku membulatkan tekadku untuk berbalik. Dengan dada yang sesak aku berjalan terus tanpa menoleh. Kupercepat langkah ketika kulihat pintu keluar.
Di tengah sapuan sinar matahari yang terik, kuakui. Aku egois. Tapi aku tak yakin diriku lebih egois darinya yang memilih mengasingkan diri ke kota lain demi sebuah ide menemukan jati diri. Dirinya yang memilih meninggalkan SEMUANYA. Dan aku.
Kini kuyakin aku sebetulnya beribu-ribu kali lebih egois.
Dan pengecut...

***

Dalam imajinasi Saskia, aku sedang duduk tenang di kursiku, melihat keluar jendela di mana ada banyak warna hijau sejauh mata memandang. Sawah-sawah, pohon-pohon yang sejujurnya sederhana, begitu wajar dan mendamaikanku. Mereka ada, nyata. Sebuah ruang natural yang seolah tak tersentuh di tengah kompleksitas yang mengengelilinginya, di antara area penuh gedung-gedung tinggi. Dia bayangkan diriku akhirnya menyadari sesuatu tentang perasaannya, yang tadinya hanya bisa kuraba-raba saja, tanpa pernah sudi kutelusuri lebih jauh. Sebab sesuatu di antara kami terasa cukup.
Tidak.
Aku hanya merasa tidak layak meminta lebih.
Bukan.
Aku hanya takut. Sebab jika memberi ruang lebih pada kami untuk melampaui lebih banyak hal, memberi kesempatan lebih hingga kami bisa menegaskan sesuatu yang  melatarbelakangi keterkaitan ini, aku akan harus mengetahui sesuatu.
Aku lelah. Setiap tahun sepanjang masa remaja, keluargaku harus pindah dari satu kota ke kota lainnya. Segala hal indah yang tadinya dengan berat hati kutinggalkan mulai tak meninggalkan kesan di hati. Aku menolak membawa sekeping kenangan apapun dari manapun, karena selalu menyakitkan. 
Tapi keramahanku, kesenangan dan rasa peduliku pada apapun dan siapapun di tempatku berpijak selama ini bukannya tidak tulus, hanya itu seolah sudah memiliki tombol on-off sendiri.
Tapi menemukan dia...
Tanpa pernah kutahu, aku merindukan kebersamaan semacam itu, yang selama ini kami buat sesekali.
Aku yakin Saskia tak pernah yakin ingin tau isi hatiku. Ia hanya berharap diriku kini tersenyum dan mengenangnya dengan manis. 
Saskia tak tau, sejujurnya aku berada jauh dari ketenangan. Aku bahkan tak sedang memandang ke luar jendela. Ia tak tahu betapa keputusasaan sempat meliputiku demi mendapati ketiadaan dirinya di sana tadi, saat aku berharap melihat wajah dan senyuman terakhir yang akan sedikit menegarkan hatiku. Ia tentu tak menangkap kegelisahanku, rasa perih, rasa bersalah demi setitik perasaan terselamatkan berkat nyaringnya tanda kereta akan berangkat tadi.
Dia belum tahu, bahwa di tengah suasana gerbong yang ramai oleh mereka yang berbincang pada teman dan keluarga masing-masing, aku berpikir. Adakah satu dari cukup banyak orang yang duduk itu sebetulnya menyesali satu hal besar di tempat yang barusan mereka tinggalkan? 
Selama ia langkahkan kakinya cepat menuju rumah, tak terbayang pula di benaknya aku mulai berpikir bahwa ini bisa jadi awal dari pencarian jati diri itu sendiri. Ini sebuah penemuan awal. Menggapai hal asing, remang-remang, tapi justru menguatkan asa. Aku mulai yakin akan hasratku, dan dengan diawali malu-malu namun pantang mundur kubuka perkenalan dengan jiwaku yang sesungguhnya. 
Saskia kemudian akan tau, aku meraih koperku dengan cepat dan melangkah ke luar, turun di stasiun terdekat. Bagaikan menembus ruang dan waktu, aku sekejab kembali.
Tapi ia tak ‘kan pernah tahu itu, jika tak ia hentikan langkahnya dan sesuatu tak merasukinya, membuatnya berputar dan berlari kembali ke stasiun itu dan melihat.
Di sana, ia merasa begitu naif karena kembali demi hal yang tak ‘kan pernah kembali. Tapi ketika ia berbalik, Saskia menangkap mataku yang sama naifnya mengelilingi stasiun mencari-cari seseorang yang mungkin kembali.
Dari jauh, kami saling berpandangan. Aku bersyukur ia kembali. Aku senang melihat dirinya lagi, yang secantik bunga-bunga dengan senyumnya yang merekah.
Betapapun menggebunya kami mengungkapkan segalanya satu sama lain, kata-kataku tak 'kan pernah cukup menggambarkannya secara utuh. Terlebih suasana hatiku saat ini. Dia tak akan paham, betapa senangnya aku melihatnya berdiri di sana. Dia tak 'kan pernah membayangkan besarnya rasa syukurku demi menyaksikannya kembali demi diriku.
Kubiarkan sisanya tetap menjadi rahasia. 
Aku tetap pergi setelahnya, namun tak pernah meninggalkannya. Dialah seorang sahabat yang jiwanya juga akan menemaniku dalam perjalanan ini. Kau bisa bilang pencarian jati diri ini hanyalah sebuah pelarian dari satu kehidupan yang membosankan dan penuh kemunafikan, tapi setidaknya aku memilih pergi membawa sekeping kebahagiaan yang tak akan hanya jadi kenangan.
Aku lari sambil tersenyum.